SELAMAT DATANG DI IKBALSUKSES.BLOGSPOT.COM INFO : WA : 085210374937

CERPEN

NAMIRA

Plak…!, suara tamparan itu masih terngiang di telinga Namira, di sela sela sedu tangisnya di malam itu, ya.. orang tua mereka sedang bertengkar, bahkan mungkin ketika ia telah tertidur, bak tiada batas sela mereka untuk terdiam sejenak, memikirkan kesalahan masing masing, mereka tetap pada pendirian mereka sendiri, tiada keinginan mereka untuk saling bermaafan.
Pagi itu, suara jeritan terdengar lagi, ibunda Namira ternyata,
“Aku yakin dari dulu!, kau pasti ada main di belakangku, sudahlah mengaku saja!”, suara ibunda Namira menggelegar memecah kekhusyukan para umat yang sedang asyik berdoa dalam subuhnya,
“Hei, aku tak seperti yang kau pikir!, atau mungkin kau yang sering pulang malam itu, hah!, aku akhir-akhir ini melihat, kau diantar oleh lelaki seumuranmu!” Geraman sang ayah tak terbendung lagi, tak lama terdengar suara itu lagi.. suara tamparan itu lagi.
“Ya Allah, berikanlah kedua orangtuaku hidayahmu, agar mereka dapat kembali, seperti dulu lagi”, mohon Namira dalam subuhnya yang baru ia kerjakan itu,.
Namira memikirkan ke 2 adiknya Putri dan Tiara yang masih duduk di bangku Taman Kanak Kanak, mereka tak tahu apa apa!, tetapi, mengapa mereka selalu menjadi bulan bulanan ayah, Sebenarnya, Namira pun, sudah muak dengan kelakuan ayah dan bundanya yang hanya bertengkar saja, Namira tak habis dicaci oleh tetangga perumahannya saja, tetapi iapun juga dikucilkan di sekolah, dianggap sebagai anak yang broken home, sejak saat itu prestasi Namira pun yang dulu sering mengikuti kejuaraan lomba Sains, lambat laun menurun. Ayah dan Bundanya diminta untuk menghadap ke sekolah, tetapi, tak satupun yang datang.
Sore itu hari Sabtu, hujan gerimis menghiasi wajah galau Namira, ya.. tiada ekspresi lagi yang dapat ia tunjukkan kini, ia mendengar Tiara kecil yang menangis tersedu di ambang pintu…
“Sini sayang…” ajak Namira menuntun adiknya itu masuk,
“Tiara kenapa?, ayah marah yah… ayah nggak jahat kok, ayah kan habis kerja.. jadi capek.. Tiara mau apa?”, rayu Namira sambil mengusap air mata tak berdosa milik Tiara,
“Ara, ma.. mau tas ba.. baru ka.. kaak”. Sambil mendekap kuat tubuh mungil adiknya itu, ia menangis, ia mengadu pada Rabb-nya.. “Ya Allah, kenapa ini..?, kenapa mereka yang tak tau apa apa… selalu menjadi bulan bulanan ayah menuang amarahnya?” tak lama kemudian Putri kecil juga menghampiri dirinya, dengan ekspresi tangisan yang lebih dalam dari Tiara..
“Loh… Kak Putri kenapa?”,
“A.. ayah ka..kaaak, pu.. putri, ng..ngga.. nggak boleh be.. beli es krim kaak..”,
“Sini Put…” sambil menahan tangis amarahnya Namira mencoba bersabar, Saat Namira memegang lembut tangan Putri kecil.. “Ah.. aduh.. kak.. sakiit…” Keluh Putri kecil mengagetkan Namira… “Loh.. kenapa?,” Lantas Putri pun menunjukkan luka lebam kecil yang membekas di tangan kirinya itu.. Lantas Namira pun mendekap kedua adiknya itu, sambil menangis sejadi jadinya… sambil mengadu lagi…
“Mengapa?, mengapa ini terjadi?, mereka tak berdosa!, mereka ingin kasih sayang!, bukan siksaan!, ya Allah, sekiranya engkau masih menyayangiku dan kedua adikku, Aku mohon.. berilah Ayah Dan Bunda kesadaran.. untuk berbaikan lagi”… Namira pun, mengobati luka lebam Putri itu…, tak lama kemudian mereka bertiga keluar dari kamar beserta baju di tasnya…
Namira memandang rumahnya sudah tak berupa lagi, hampir mirip kapal yang sudah luluh lantak jatuh dari ketinggian 1000 meter, piring pecah berserakan sana sini..
“Namira!, kalian mau kemana?” cegah ayahnya dengan nada tinggi..
“Apa? Ayah masih peduli dengan Namira? hah?, mau kemana terserah Namira!, Namira capek dengar ayah dan bunda berseteru, apa ayah dan bunda tidak melihat? Tiara dan Putri? mereka tak tahu apa apa! tetapi, mengapa ayah bunda jadikan bulan bulanan amarah ayah dan bunda hah? Namira ingin pergi dari rumah ini!” sambil mengajak kedua adiknya keluar.
Namira bermaksud ingin mengajak Tiara dan Putri menuju villa milik Namira, disana tenang, dan tidak ada suara tamparan, siksaan, dan lagi, tak satupun yang tahu villa milik Namira ini, Sebenarnya, Namira hanya membutuhkan ketenangan batin, untuk mengadu pada Rabb-nya, tak ada hal yang lain lagi selain berdoa untuk kedua orang tuanya itu, dan mengurusi Kedua adiknya itu, Tapi, entah dari mana asalnya, tiba-tiba semangat Namira bangkit kembali!, lambat laun, prestasinya yang menurun, semakin lama semakin membaik…, ia pun berharap begitu juga dengan orang tua nya.
Tak terasa sudah 2 bulan mereka disana, Namira pun, mencoba menghubungi tetangga yang kebetulan baik sekali dan mengerti tentang keadaan keluarga Namira..
“Assalamualaikum, pak?, bagaimana dengan keadaan rumah saya?” Tanya Namira lewat telepon genggamnya..
“Walaikumsalam, Namira, Di rumah tinggal ayah Namira saja, sepengeahuan bapak, tak terdengar lagi suara ibunda Namira di rumah, sejak 1 bulan yang lalu”..
“A.. apa pak? Benarkah?” Tanya Namira, seolah tak percaya dengan apa yang telah diucapkan oleh bapak tadi
“Iya Ra, Namira bisa cek sendiri ke rumah…”.
Siang itu, setelah pulang dari sekolah, Namira pun langsung meluncur menuju rumahnya, ia memandang dari jauh.. tiada suara piring pecah lagi, tiada suara tamparan lagi, rumah itu hening, bak tiada penghuninya, Ia pun mendekati rumahnya dengan perlahan, takut ketahuan oleh ayahnya, ia melihat dari balik jendela, ayah memandangi fotonya bersama Putri dan Tiara, tertampak wajah kerinduan di raut muka ayahnya. Lantas ia pun mengetuk pintu rumahnya,
“Ya.. Siapa ya?” suara ayahnya menyapa dari dalam, dibukanya pintu itu perlahan, betapa kagetnya ayah Namira melihat anaknya pulang,
“Namira…!, anakku…” sontak sambil memeluk Namira tangispun pecah menyirami panasnya siang hari itu,
“Iya ayah, yah bunda mana?”
“Bundamu, sudah pergi dari rumah nak, ayah juga tidak tahu dia pergi kemana…” ucap ayahnya sambil mengusap air matanya… “Ayah, mau kan kembali dengan bunda?, kasihan Tiara dan Putri yah..”
“Iya nak, tapi semua, semuanya sudah terlambat… ayah sudah bercerai dengan bundamu, bundamu pergi, entah kemana…”,
“Namira akan cari bunda…!” Namira pun berlari menuju mobilnya,
“Namiraaa!, jangan nakk!” cegah ayahnya, tapi Namira tak menghiraukannya, Namira memacu kendaraan dengan kecepatan yang tak seperti biasa.. Pikiran Namira hanya tertuju pad bundanya seorang “Kemana bunda…? Kemana bunda…? Aku harus ketemu bunda.. bunda, dimanakah engkau?” tanyanya dalam hati, hingga tak menyadari sebuah truk pasir melaju kencang…
AWAAAASSSS!!!, suara teriakan seseorang dari belakang, tapi terlambat sudah.. jarah antar mobil sudah tak terelak lagi.. dan akhirnya… BRUAKK!!!, mobil Namira pun hancur ditabrak truk pasir itu… seketika, melayang kenangan indah bersama ayah, bunda, Tiara dan Putri. Darah segar mengalir dari retakan kepala Namira yang malang, deru kaki orang orang yang niat menolong pun mungkin telah terlambat sudah… Hanya jeritan hati kecil Namira yang bisa ia lakukan, jeritan yang tak satupun makhluk di dunia ini yang tau, selain dia dan Rabb-nya.., dia hanya bisa mendengar.. mendengar suara gemuruh manusia yang ingin menolongnya.. suara itu pun semakit lama.. semakin mengecil.. menghilang, dan kini, tinggal dirinya sendiri.
“tit… tit… tit… tit…” terdengar sayup suara indikator detak jantung itu olehnya,
“Namira!, kamu sudah sadar nak?”,
“Bun… bunda..?, Ayah?..” ucapnya sangat lemah,
“Namira ada dimana?” tanyanya balik..
“Namira, sekarang ada di rumah sakit, sayang, Namira cari bunda ya? Maaf ya nak.. hanya karena perselisihan antara ayah dan bunda.. Namira jadi begini…” Jawab bundanya tak kuat menahan air mata…
“Nggak papa bund… ahhkk” diikuti suara indikator yang mulai cepat tit. tit. tit. tit…
“Namira!, kenapa nak? Namira!!”.. Teriak ayahnya penuh rasa bersalah..
“Ahhp.. Namira Cuma ingin satu… ayah dan bunda bersatu lagi sse.. seperti… dulu”,
“Iya sayang, Ayah dan Bunda sudah bersatu kembali, seperti Namira minta…”
“Loh Namira? Namira?” keadaan pun semakin kritis, kata kata Namira pun semakin tak jelas… semakin melemah.. dan akhirnya… Innalilahi Wa Innalilahi Rojiun..
Namira kembali ke pangkuan-Nya,…
Tangis pun meledak dalam ruang ICU itu..
“Namira!!!, anakku… kenapa Namira tinggalin bunda nakk…” tangis bundanya yang menjadi-jadi… diikuti dengan jeritan kecil Tiara dan Putri “Kak… kak Namiraa…!! hwaaa…!!”,.
7 hari berselang, sejak kepergian Namira..
“Bunda.. Maafkan ayah ya, gara gara ayah.. Namira meninggal..” Air mata ayah Namira pun mulai berjatuhan..
“Sudahlah ayah, ini memang kehendak dariNya.., ayah jangan menyalahkan diri ayah sendiri… ini juga salah bunda, mengapa bunda tidak terus terang dengan ayah, yang akhirnya membuat seperti ini…”…
Dan sejak saat itu bunda, ayah, Putri dan Tiara.. hidup bahagia.. sudah tak terdengar lagi piring pecah, sudah tak terdengar lagi cacian, makian, yang terdengar kini adalah lantunan ayat suci Al-Quran yang senantiasa menyelimuti keluarga yang ditinggal Namira… Sekarang, tiada lagi tetangga yang mencibir keluarga Namira, justru, mereka sangat menghormati mereka.
Subhanallah, Peengorbanan Namira begitu besar, ia tak memikirkan dirinya, ia hanya memikirkan, bagaimana orangtuanya bersatu kembali demi kedua adiknya.

No comments:

nur muuhamad ikbalilmarom. Theme images by Petrovich9. Powered by Blogger.